Asal Usul Maung (Harimau) Siliwangi
JATILUHURONLINE - Menurut sebagian ahli sejarah, Pajajaran merupakan kerajaan hindu terbesar di Jawa
Barat. Tidak begitu jelas siapa pendiri dan kapan berdirinya. Namun
lokasinya diketahui di Bogor sekarang. Raja-raja yang pernah berkuasa
diantaranya, adalah: Prabu Lingga Raja Kencana, Prabu Wastu Kencana, dan
Prabu Siliwangi.
Di antara
raja-raja tersebut yang paling termashyur adalah Prabu Siliwangi. Raja yang
terkenal amat bijaksana ini beristrikan putri bernama Dewi Kumalawangi. Dari
rahim istrinya ini lahirlah tiga orang putra, yaitu: Raden Walangsungsang, Dewi
Rarasantang dan Raden Kiansantang.
Raden
Kiansantang lahir di Pajajaran tahun 1315. Dia adalah seorang pemuda yang
sangat cakap. Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kiansantang
diangkat menjadi Dalem Bogor kedua. Konon, raden
Kiansantang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata
jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang ksatria, dan sorot matanya
menggetarkan hati lawan.
Diriwayatkan,
prabu Kiansantang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur
hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya.
Padahal ia ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia
memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.
Konon ini adalah wajah Kian Santang
Untuk memenuhi
permintaan putranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta
bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu
mengalahkan putranya. Kemudian datang
seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek
tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kiansantang ada di tanah suci
Mekkah, namanya Sayidina Ali.
“Aku ingin
bertemu dengannya.” Tukas Raden Kiansantang.
“Untuk bisa
bertemu dengannya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat
tersebut adalah:
- Harus bersemedi dulu di ujung kulon, atau ujung barat Pasundan
- Harus berganti nama menjadi Galantrang Setra
Dua syarat yang
disebutkan tidak menjadi penghalang. Dengan segera Raden Kiansantang memakai
nama Galantrang Setra. Setelah itu ia segera pergi ke ujung kulon Pasundan
untuk bersemedi.
Pergi Ke
Mekkah
Tak dijelaskan
dengan apa Galantrang Setra pergi ke Mekkah. Yang pasti sesampainya di Arab
beliau langsung mencari Sayidina Ali.
“Anda kenal
dengan Sayidina Ali?” Tanya Kiansantang pada seorang lelaki tegap yang
kebetulan berpapasan dengannya.
“Kenal sekali,”
jawabnya.
“Kalau begitu
bisakah kau antar aku kesana?”
"Bisa, asal kau
mau mengambilkan tongkatku itu.”
Demi untuk
bertemu dengan Ali, Kiansantang menurut untuk mengambil tongkat ya tertancap di
pasir. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika mencoba mencabut tongkat itu ia tak
berhasil, bahkan meski ia mengerahkan segala kesaktiannya dan pori-porinya
keluar keringat darah.
Begitu
mengetahui Kiansantang tak mampu mencabut tongkatnya, maka pria itu pun
menghampiri tongkatnya sambil membaca Bismillah tongkat itu dengan mudah bisa
dicabut.
Kiansantang
keheranan melihat orang itu dengan mudahnya mencabut tongkat tersebut sedang ia
sendiri tak mampu mencabutnya.
“Mantra apa yang
kau baca tadi hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu? Bisakah kau
mengajarkan mantra itu kepadaku?”
“Tidak Bisa,
karena kau bukan orang islam.”
Ketika ia
terbengong dengan jawaban pria itu, seorang yang kebetulan lewat di depan
mereka menyapa; “Assalamu’alaikum Sayidina Ali.”
Mendengar sapaan
itulah kini ia tahu bahwa Sayidina Ali yang ia cari adalah orang yang sedari
tadi bersamanya. Begitu menyadari ini maka keinginan Kiansantang untuk mengadu
kesaktian musnah seketika. “Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkannya sedang
mengangkat tongkatnya pun aku tak mampu,” pikirnya.
Singkat cerita
akhirnya Kiansantang masuk agama islam. Dan setelah beberapa bulan belajar
agama islam ia berniat untuk kembali ke Pajajaran guna membujuk ayahnya untuk
juga ikut memeluk agama islam.
Usaha
Kiansantang Mengislamkan Ayahnya
Sesampainya di
Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di
tanah Mekkah dari mulai bertemu Sayidina Ali hingga masuk islam. Karena itu ia
berharap ayahandanya masuk islam juga. Tapi sayangnya ajakan Kiansantang ini
tak bersambut dan ayahandanya bersikeras untuk tetap memeluk agama Hindu yang
sejak lahir dianutnya.
Betapa kecewanya Kiansantang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya. Untuk itu ia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya ia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk islam juga.
Betapa kecewanya Kiansantang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya. Untuk itu ia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya ia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk islam juga.
Setelah 7 tahun
bermukin di Mekkah, Kiansantang pun kembali lagi ke Pajajaran untuk mencoba
mengislamkan ayahandanya. Mendengar Kiansantang kembali Prabu Siliwangi yang
tetap pada pendiriannya untuk tetap memeluk agama Hindu itu tentu saja merasa
gusar. Maka dari itu, ketika Kiansantang sedang dalam perjalanan menuju istana,
dengan kesaktiannya prabu Siliwangi menyulap keraton Pajajaran menjadi hutan
rimba.
Bukan main
kagetnya Kiansantang setelah sampai di wilayah keraton pajajaran tidak
mendapati keraton itu dan yang terlihat malah hutan belantara, padahal dia
yakin dan tidak mungkin keliru, disanalah keraton Pajajaran berdiri.
Dan akhirnya
setelah mencari kesana kemari ia menemukan ayahandanya dan para pengawalnya
keluar dari hutan. Dengan segala
hormat, dia bertanya pada ayahandanya, “Wahai ayahanda, mengapa ayahanda
tinggal di hutan? Padahal ayahanda seorang raja. Apakah pantas seorang raja
tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke keraton. Ananda ingin ayahanda
memeluk agama islam.”
Prabu Siliwangi
tidak menjawab pertanyaan putranya, malah ia balik bertanya, “Wahai ananda,
lantas apa yang pantas tinggal di hutan?”
“Yang pantas
tinggal di hutan adalah harimau.” Jawab Kiansantang.
Konon, tiba-tiba Prabu Siliwangi beserta pengikutnya berubah wujud menjadi harimau. Kiansantang menyesali dirinya telah mengucapkan kata harimau hingga ayahanda dan pengikutnya berubah wujud menjadi harimau. Maka dari itu, meski telah berubah menjadi harimau, namun Kiansantang masih saja terus membujuk mereka untuk memeluk agama islam.
Namun rupanya
harimau-harimau itu tidak mau menghiraukan ajakannya. Mereka lari ke daerah
selatan, yang kini masuk wilayah Garut. Kiansantang berusaha mengejarnya dan
menghadang lari mereka. Dia ingin sekali lagi membujuk mereka. Sayang usahanya
gagal. Mereka tak mau lagi diajak bicara dan masuk ke dalam goa yang kini
terkenal dengan nama goa Sancang, yang terletak di Leuweung Sancang, di
kabupaten Garut.
Goa dan hutan Sancang yang dimaksud.
Epilog
Mengenai tokoh
yang disebutkan sebagai Sayidina Ali dalam cerita ini, memang sedikit
kontroversial. Mengingat tarikh kejadian, apakah mungkin yang dimaksud sayidina
Ali disini adalah Ali Bin Abi Tholib, ataukah yang dimaksud adalah tokoh
sayidina Ali yang lain, mengingat tahun kejadian yang terpaut jauh dengan masa
kehidupan Ali Bin Abi Tholib.[arsipbudayanusantara]