Babad Cirebon Versi Naskah Klayan
Naskah kuno |
Pupuh pertama
Dangdanggula, 13 Bait
Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim. Pupuh ini
menceritakan lolosnya Walangsungsang—putra Prabu Siliwangi—yang
berkeinginan mencari agama Nabi Muhammad. Walangsungsang –yang juga
putra mahkota Kerajaan Pajajaran—berkeinginan untuk berguru agama Nabi
Muhammad. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada ayahandanya, Prabu
Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir Walangsungsang
dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan diri
meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk
berguru agama nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal
Mekah di bukit Amparan Jati cirebon. Dalam perjalanan mencari Syekh
Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta Budha bernama
Sang Danuwarsi.
Pupuh Kedua
Kinanti, 24 bait
Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang –adik Walangsungsang yang
juga berkeinginan untuk mempelajari agama nabi –yang menyusul kakaknya
hingga pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap hari,
Rarasantang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia
terus menerus menangis. Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga
akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran.
Lalu, Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia
tidak diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang.
Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang.
Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tajimalela.
Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung
Tangkuban-perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi
pakaian sakti oleh Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat.
Nyai Sekati memberi petunjuk agar Rarasantang pergi ke gunung Cilawung
menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama
Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan
seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi
Tuhan, dan menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling
diberi petunjuk agar meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi.
Cerita beralih dengan menceritakan Resi Danuwarsi—yang juga dikenal
dengan nama Ajar Sasmita—yang tengah mengajar Walangsungsang. Sang
Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi Samadullah dan
menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati
segala macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbincang-bincang
tiba-tiba datanglah Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di
Gunung Merapi, Walangsungsang dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang
bernama Indang Geulis. Sesuai dengan petunuk Resi Danuwarsi, Samadullah
beserta istri dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit
Ciangkup. Indang Geulis dan Rarasantang “dimasukkan” ke dalam cincin
Ampal.
Pupuh Ketiga
Asmarandana, 16 bait
Di bukit Ciangkup—tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang
Naga—Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang
yang dapat berbicara seperti manusia dan bisa terbang. Setelah
mengganti nama Samadullah menjadi Kyai Sangkan, Sanghyang Naga memberi
petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke Gunung Kumbang
menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat tua.
Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga
beberapa jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari
tempurung), serta umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera
Pajajaran. Atas petunjuk Nagagini, Walangsungsang kemudian berangkat ke
Gunung Cangak. Nagagini memberi nama baru bagi Walangsungsang, yakni
Karmadullah.
Pupuh Keempat
Megatru,26 bait
Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang
setiap cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud
menangkap salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan
terbang jauh.
Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”.
Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”.
Raja Bango berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk
ke dalam perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh
Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih,
dan ia menyatakan takluk kepada Walangsunsang serta mengundangnya untuk
singgah di istananya guna diberi pusaka.
Di dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara. Sanghyang Bango memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati.
Di dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara. Sanghyang Bango memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati.
Pupuh kelima
Balakbak, 16 bait
Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang
juga bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih
keturunan Nabi Muhammad dari Jenal Ngabidin.
Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang
muslim dengan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup,
Syekh Datuk Kafi menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan
di tepi pantai.
Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di “masukkan” ke dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan sebutan Ki Cakrabumi.
Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di “masukkan” ke dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan sebutan Ki Cakrabumi.
Pupuh keenam
Menggalang, 13 bait
Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan
kesaktian Golok Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat.
Ketika goloknya bekerja membabat hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah,
lalu golok mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam
waktu singkat pekerjaan sudah selesai; sementara Walangsungsang tidur
mendengkur.
Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat, pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan.
Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat, pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan.
Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala
ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke
selatan hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke
rumahnya yang terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi
telah berada disana.
Pupuh ketujuh
Sinom, 24 bait
Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia
menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Walangsungsang mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan ibadah
haji bersama adiknya, Rarasantang. Syekh Datuk Kahfi menitipkan sepucuk
surat untuk sahabatnya, Syekh Bayan dan disarankan agar Walangsungsan
beserta adiknya tinggal di rumah Syekh Bayan selama di Mekah.
Cerita beralih kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani Israil yang
baru ditinggal mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya agar mencari
seorang wanita yang parasnya serupa benar dengan almarhumah
permaisurinya.
Patih Raja Uttara mengembara ke neger Rum, Bustam, Syam, Turki, dan
Mesir, namun belum juga menemukan wanita yang diinginkan rajanya.
Akhirnya, ia pergi ke Mekah pada saat musim haji. Ia melihat tiga orang
berjalan beriring-iringan. Mereka adalah Syekh Bayan, Walangsungsang,
dan Rarasantang. Sang Patih mengikuti mereka sampai ke rumahnya. Menurut
penglihatannya, Rarasantang mirip sekali dengan almarhumah permaisuri
Mesir.
Patih Raja Uttara meminta Rarasantang utuk menjadi istri Raja Uttara di
Bani Israil. Ternyata, ia bersedia menjadi istri raja Uttara dengan mas
kawin sebuah sorban peningglan Nabi Muhammad SAW.
Pupuh kedelapan
Asmarandana, 13 bait
Ketika Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalkan suaminya
yang bermaksud mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja Yutta.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, baru satu hari Raja
Uttara berada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan tak tertolong
lagi. Raja Uttara sudah pulang ke rahmatullah. Utusan segera dikirim ke
Mesir untuk memberi kabar Raja Uttara telah meninggal di rum.
Pupuh kesembilan
Sinom, 15 bait
Pupuh ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati oleh
suaminya, serta kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa. Kesedihan
Rarasantang yang sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar
kematian suaminya, apalagi masa kehamilannya telah mencapai usia 12
bulan.
Sementara itu, di Mekah, Syekh Bayan dan Walangsunsang tengah
bercakap-cakap tentang rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam
perbincangan itu, Syekh Bayan berkeinginan untuk turut serta ke pulau
Jawa. Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi Abdul Iman meminta
agar Syekh Bayan bersabar dahulu karena Abdul Iman ingin berkelana
mengelilingi daerah Mekah hingga ke desa-desa.
Tetapi, ternyata pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang saat itu sedang terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang belum diberi nama. Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan Kut—saat itu juga sedang sakit parah. Syekh Abdul Iman berhasil menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih kecil kemudian diambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.
Tetapi, ternyata pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang saat itu sedang terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang belum diberi nama. Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan Kut—saat itu juga sedang sakit parah. Syekh Abdul Iman berhasil menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih kecil kemudian diambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.
Syekh bayan yang menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga bulan ternyata
belum kembali juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan berangkat
sendiri dari pelabuhan Julda ( Jeddah ) menuju Cirebon.
Pupuh kesepuluh
Maskumambang, 13 bait
Dengan mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarannya meninggalkan
Mekah menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang kembali ke Mekah
setelah melakukan pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh Bayan. Dengan
kesaktiannya, Abdul Iman segera melesat ke Pulau Jawa. Ia menantikan
kedatangan Syekh Bayan di tepi pantai dengan menyamar sebagai pencari
ikan.
Syekh Bayan tiba di Cirebon, ia disambut oleh seorang pencari ikan. Ia
bertanya kepada pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai syekh
Datuk Kahfi. Syekh Abdul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan tidak
menjawab pertanyaan syekh Bayan, melainkan ia menjelaskan bahwa jika
Syekh Bayan ingin menjadi orang yang mulia dan menjadi wali, tunggulah
syekh Datuk Kahfi di Gunung Gajah.
Pupuh kesebelas
Dangdanggula, 12 bait
Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari ikan,
sementara Syekh Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan, Abdul
Iman teringat kepada gurunya, lalu ia kembali ke Panjunan untuk menemui
gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata gurunya tidak ada, dan
yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk Kahfi. Isi
surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul ke
Pandanjalmi.
Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti
kepada istrinya dengan pesan : “Kelak, jika datang seorang pemuda dari
Mekah, dan tinggal di Gunung Jati, serahkanlah peti itu kepadanya. Jika
anak yang dalam kandunganmu lahir perempuan, berilah nama Pakungwati.
Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu dan anak hendaklah berguru
kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu”.
Abdul Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa di Sendang, dan menamakan
dirinya Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak angkatnya
yang bernama Nyi Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya
berganti nama menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar,
ia namakan desa Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu
Emas Gandasari, yang juga terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan.
Cerita beralih pada kisah kelahiran Syarif Hidayat. Tersebutlah
Rarasantang di Mesir. Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak pertama
diberi nama Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin.
Ketika mereka sudah berumur 14 tahun, mereka rajin mempelajari ilmu
agama. Lebih-lebih Syarif Hidayat, segala macam kitab agama ia baca
hingga akhirnya ia membaca sebuah kitab rahasia yang tertulis dengan
tinta emas.
Pupuh keduabelas
Sinom, 21 bait
Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep
luwi, gegurua ing Mukhamad( jika ingin menjdi manusia istimewa
bergurulah kepada Muhammad ), Syarif Hidayat merasa setengah tidak
percaya terhadap amanat yang tertera dalam buku itu. Namun, dalam setiap
tidurnya, ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara: e
Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya,
nimbangi keramat Nabi, ulatana sira guguru Mukhamad ( Hai Syarif Hidayat
dengarkanlah petunjukku, jika engkau ingin menjadi manusia mulia
sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan bergurulah kepada
Muhammad ).
Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun demikian, hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada ibunya dan sudah tak dapat dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun demikian, hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada ibunya dan sudah tak dapat dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Syarif Hidayat mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke
patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga
memperoleh petunjuk. Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan,
membaca shalawat nabi, dan mengucapkan taubat. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan ke gunung Jambini.
Di sana, ia bertemu dengan Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti ( Mardada ) menemui pertapa di sana.
Di sana, ia bertemu dengan Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti ( Mardada ) menemui pertapa di sana.
Pulau Mardada dihuni oleh binatang buas dan berbisa yang sedang menjaga
sebuah keranda biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat
melihat ada seorang pemuda bernama Syekh Nataullah sedang bertapa.
Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak ada harapan untuk menemui orang yang
sudah tiada, lebih baik berusaha mendapatkan cincin Mulikat yang berada
di tangan Nabi Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa barang siapa memiliki
cincin Mulikat, ia akan menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati
oleh umat manusia. Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah
bersama-sama mengambil cincin tersebut.
Pupuh ketigabelas
Kinanti, 30 bait
Ketika Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah Nabi
Sulaeman seolah-olah hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya.
Syekh Nataullah mencoba merebut cincin tersebut, tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang sedang
mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah
melesat jatuh di pulau jawa, sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau
Surandil.
Cerita dalam pupuh ini diselingi oleh kisah Rarasantang yang merindukan
Syarif Hidayat. Sudah sepuluh tahun Rarasantang ditinggal putranya. Ia
selalu berdoa agar anaknya mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya : wondening anakira iku, waruju
kang dadi aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang
dadi lara brangta, amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi,
balik angungsiyang Jawa, lamon arep ya pinanggi (Anakmu yang muda itu
akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi.
Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarip Hidayat, sebaiknya
kembalilah engkau ke Pulau Jawa.) Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau
Jawa menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk
Kahfi.
Cerita kembali ke Syarif Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana,
ia melihat sebuah kendi berisi air sorga yang sangat harum baunya.
Kendi itu mempersilahkan Syarif Hidayat meminumnya. Karena ia hanya
menghabiskan setengahnya, kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang
kelak akan didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air
kendi itu dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan
raja-rajanya. Setelah berkata demikian, kendi itu pun lenyap.
Syarif Hidayat kemudian bertemu dengan Syekh Kamarullah. Atas anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh Ampeldenta. Dengan demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba di tanah Jawa.
Pupuh keempatbelas
Sinom, 28 bait
Suatu ketika, Nabi Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai seorang wanita
pembawa roti. Ia menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah
roti sorga, dan barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti
berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris, dan Turki.
Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari Muhammad
ikutilah seseorang yang menunggang kuda di angkasa, dialah Nabi Khidir
yang dapat memberi petunjuk.
Wanita pemberi petunjuk itu hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda. Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari.
Wanita pemberi petunjuk itu hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda. Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari.
Abdul Sapari memberinya dua butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis oleh Syarif Hidayat dan terasa manis sekali, sementara sebuah lagi disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat menyakitkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika.
Abdul Sapari segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke bubungan mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit.
Dalam perjalanan mikraj, pertama kali ia sampai di pintu dunia dan melihat orang-orang yang mati sabil serta mukmin yang alim dan kuat beribadat. Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada suami.
Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif Amanatunggal. Di langit keempat, ia bertemu dengan ribuan malaikat yang dipimpin oleh Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Para pemimpin malaikat juga memberinya nama, antara lain, Malaikat Jibril memberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi nama Syekh Surya, Israfil memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail memberinya nama Syekh Garda Pangisepsari.
Di langit kelima, ia bertemu dengan ribuan nabi, antara lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa. Mereka juga menghadiahi nama baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam memberi nama Syekh Kamil, Nabi Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi Musa memberi nama Syekh Marut. Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol mustakim. Akhirnya, ia tiba di langit ketujuh dan melihat cahaya terang benderang.
Pupuh kelimabelas
Kinanti, 26 bait
Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi Muhammad yang
sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal.
Karena itu, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi karena di
dunia sudah ada wakilnya, yakni para fakir, haji, kitab Al qur’an,
puji-pujian, dan segala macam ilmu telah lengkap di dunia. Akan tetapi,
Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar
penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi
kalimat syahadat dan perbedaannya dengan zikir satari.
Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.
Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.
Syarif Hidayat lalu turun dari langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang
di Ajrak dan kembali ke Gunung Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya
yang sudah menjadi pertapa wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh
Nurjati telah pindah ke gua Dalam.
Pupuh keenambelas
Sinom, 27 bait
Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat.
Ketika tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar
Syarif Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung
Gundul, tetapi Syekh Nurjati pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas
petunjuk cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan. Keduanya
mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat
denga nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar
Sultan Jatipurba.
Selesai mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap dan tidak
pernah muncul lagi sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah bernama
Pangeran Panjunan atau Syekh Siti Jenar, dan bergelar Sunan Sasmita.
Dengan perantaraan cincin Marembut, Syarif Hidayat melihat ke mana
sebenarnya kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia menjumpai ibunya di
Gunung Jati, dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh Kamarullah
yang bergelar Syekh Ampeldenta.
Saat itu, Syekh Kamarullah sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya
agar dengan sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat.
Pangeran Kendal disuruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur
di tepi pantai, dan Pangeran Kajoran harus bertapa menentang matahari.
Setelah murid-muridnya pergi, datanglah Syarif Hidayat. Lalu, keduanya
mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta, pergilah Syarif
Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yang berasal dari
Mekah.
Pupuh ketujuhbelas
Amarandana, 48 bait
Di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti nama menjadi
Pajarakan. Tetapi, saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh Jagung
atau Syekh Majagung, atau Ki Dares jika sedang enau. Suatu ketika, Ki
Dares tengah bersenandung seraya memahat enau, datanglah Syarif Hidayat.
Ki Dares kagum melihat keampuhan kalimah syahadat yang diucapkan oleh
Syarif Hidayat yang dapat merontokkan buah pinang dan mengubahnya
menjadi emas, dan ia berkeinginan untuk berguru kepadanya.
Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh Nataullaah yang telah bergelar Syekh Damarmaya yang mengamalkan ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus mandi dan tak pernah tidur seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat tiba di sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh Nataullah lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya apabila ingin mengetahui makna syahadat datanglah ke Cirebon, kelak di waktu para wali berkumpul.
Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh Nataullaah yang telah bergelar Syekh Damarmaya yang mengamalkan ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus mandi dan tak pernah tidur seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat tiba di sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh Nataullah lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya apabila ingin mengetahui makna syahadat datanglah ke Cirebon, kelak di waktu para wali berkumpul.
Lalu, Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Kendal
yang sedang bertapa membisu—siang malam berjalan sepanjang jalan tanpa
berkata-kata. Seperti halnya ketika bertemu Syekh Damarmaya, Syarif
Hidayat menjelaskan sekelumit ilmu kepada Pangeran Kendal dan
menganjurkan supaya pergi ke Cirebon. Giliran selanjutnya mendatangi
Pangeran Makdum yang sedang bertapa denga tidur di pantai serta pergi ke
Madura menemui Pangeran Kajoran yang sedang bertapa dengan menentang
matahari. Semua pertapa yang ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya
mereka menemui Syekh Ampel di Gunung Muria.
Cerita beralih pada kisah seorang raja di negara Atasangin yang masih
beragama Budha. Ia telah mengetahui akan kedatangan Syarif Hidayat.
Sebelum tamunya datang, ia beserta negaranya menghilang ke dasar laut.
Syarif Hidayat kemudian meneruskan perjalanan dan bertemu dengan putra
mahkota Keling sedang melarung jenazah ayahandanya. Atas anjurannya,
jenazah Raja Keling kemudian dimandikan dan dikubur. Sesudah itu, ia
melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mesir.
Pupuh kedelapanbelas
Dangdanggula, 25 bait
Ketika Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adiknya, Syarif
Arifin, untuk memangku jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia tidak mau
menjadi raja. Ia tetap memilih sebagai ulama. Ia hanya meminta kepada
adiknya seorang kemenakannya yang bernama Pulunggana untuk diajak
berkelana. Dari Mesir, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi pamannya,
Raja Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada raja Cina.
Raja Cina mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna
Gandum yang jath cinta kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat
hendak pulang ke Pulau Jawa, Ratna Gandum berniat mengikutinya, tetapi
dilarang oleh orang tuanya. Meskipun demikian, ia memaksa dan akhirnya
melarikan diri mengikuti Syarif Hidayat. Keduanya selamat sampai di
Pulau Jawa dan menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati
semakin ramai sebagai pusat agama islam.
Tersebutlah Nyi Indang Geulis di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak
perempuan bernama Pakungwati yang sudah menginjak remaja dan teramat
cantik. Berita tentang wali yang berasal dari Mekah yang bermukim di
Gunung Jati mengingatkan Indang Geulis akan pesan suaminya. Ia segera
bersiap-siap pegi ke Gunung Jati beserta anaknya. Tak lupa pula, ia
membawa kendaga yang ditinggalkan suaminya.
Sebelum Nyi Indang Geulis tiba di Gunung jati, terlebih dahulu telah
datang tamu dari Gunung Muria, yakni Syekh Ampeldenta beserta
murid-muridnya. Tujuan utamanya adalah membicarakan penyerangan terhadap
negara Majapahit yang masih beragama Budha. Semuanya sepakat dengan
rencana itu. Menyusul kemudian Nyi Indang Geulis bersama Nyi Pakungwati.
Ia menyerahkan kendaga kepada Syarif Hidayat yang ternyata isinya
sorban dan surat dari uaknya, Walangsungsang. Akhirnya, Syarif Hidayat
menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara ( kota)
Cirebon yang dimulai dengan pembangunan alun-alun dan istana yang
kemudian terkenal dengan nama istana Pakungwati.
Pupuh Kesembilanbelas
Asmarandana, 18 bait
Pupuh ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan dalam
cerita Sunan Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati Tuban,
Suryadiwangsa. Ia adalah anak tunggal yang telah menjadi yatim piatu
sejak menjelang masa akil-baligh. Nama kecilnya adalah Nurkamal. Ia
bercita-cita ingin menjadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap hari,
ia membagi-bagikan sedekah kepada para menteri dan seluruh rakyatnya.
Sedekahnya dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat, pemabuk, da
para pelaku perbuatan maksiat, semuanya boleh ikut menghabiskan
hartanya.
Suatu ketika, uang dan hartanya sudah habis ketika Nurkamal harus
menyelenggarakan selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia
memanggil Patih Sutiman dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada
Patih Sutiman seharga 2.000 dinar. Akhirnya, negara dan rumah Kadipaten
sudah digadaikan. Itu berarti, ia sudah tidak mempunyai rumah lagi, dan
ia berniat untuk bersedekah di pasar.
Di pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg yang dapat menuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan.
Akhirnya, ia memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga 2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal : Pertama, jangan suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada Adipati Urawan.
Di pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg yang dapat menuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan.
Akhirnya, ia memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga 2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal : Pertama, jangan suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada Adipati Urawan.
Pupuh keduapuluh
Pangkur 26 bait
Adipati Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman.Suatu hari, ia di
ajak berburu ke hutan,tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di
istana. Durakman di suruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di
kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden
Turna, anak Patih Judipati. Durakman segera kembali ke hutan dengan
membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya
terbongkar segera menyusul suaminya ke hutan dengan kereta. Lalu,
mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak senonoh kepada dirinya.
Tanpa pikir panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada Patih
Judipati yang isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh. Jika
tidak, Patih Judipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati Urawan
menjelaskan pada istrinya –Dewi Srigading–bahwa Durakman akan di bunuh
oleh Patih Judipati. Dalam perjalanan, Durakman bertemu dengan Raden
Turna. Keduanya berjalan bersama ke kepatihan.
Di tengah perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Durakhman untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berkenduri.
Di tengah perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Durakhman untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berkenduri.
Raden Turna tidak sabar menunggu kenduri sehingga, secara diam-diam, ia
mengambil surat untuk ayahnya. Ia tinggalkan Durakhman dan segera
menyampaikan surat tersebut kepada ayahnya. Setelah membaca isi surat,
terpaksa Patih Judipati menuruti isi surat itu : kepala anaknya segera
ia penggal dan Raden Turna meninggal seketika. Tidak lama kemudian,
Durakhman tiba di rumah Patih Judipati yang menyatakan diutus sang
Adipati untuk mengambil mayat Raden Turna.
Adipati Urawan terkejut melihat kedatangan Durakman yang membawa mayat
Turna. Durakman lalu menceritakan pengalamannya membeli dongeng seharga
2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi
petunjuk kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja perempuan di
negeri Diriliwungan.
Pupuh keduapuluh satu
Dangdanggendis, 25 bait
Di negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di
sana, ia melihat banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para
penjaga. Lalu ia ditangkap dan dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. Ia
akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang Ratu. Akhirnya, Durakman
bersedia menikahinya.
Di malam hari, ketika akan tidur Durakman teringat kembali akan dongeng
si Kakek bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri. Karenanya,
cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan bahkan ia pura-pura tidur. Ratu
Diriliwungan merasa kesal dan sangat lelah sehingga akhirnya tertidur,
sementara Durakman hanya duduk termangu.
Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng–di kemudian hari, keris ini menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa setiap orang yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya pasti meninggal.
Sementara itu, Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakman, dan ia memilih menceburkan diri ke laut yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul.
Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng–di kemudian hari, keris ini menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa setiap orang yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya pasti meninggal.
Sementara itu, Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakman, dan ia memilih menceburkan diri ke laut yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul.
Adapun Durakman melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh
Ampeldenta yang mengetahui bahwa tamunya merupakan calon wali penutup
tidak berani menerima sembahnya, bahkan mengajar pun ia tidak berani. Ia
hanya memberi petunjuk jalan ke arah kesempurnaan. Durakman dianjurkan
supaya menjadi perampok di hutan Japura dengan nama Lokajaya dan
membunuh setiap orang yang melewati hutan Japura.
Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki Dares di Gunung Gajah hendak pergi ke
Cirebon mencari guru agama Islam bersama-sama istrinya, Nyi Mukena.
Suami-istri itu berjalan melewati hutan Japura dan bertemu dengan
Lokajaya yang segera menghadangnya. Dalam ketakutannya, suami-istri itu
tidak putus-putusnya berdoa memohon ampunan Allah sehingga ketika pedang
Lokajaya bertubi-tubi menghantamnya ternyata tidak mempan. Akhirnya,
Lokajaya memohon ampun kepada Ki Dares dan meminta brguru kepadanya.
Oleh Ki Dares, Lokajaya lalu dikubur hidup-hidup dengan tujuan agar
tubuh Lokajaya bersih dari segala dosa.
Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton Majapahit, Raja Brawijaya
sedang menerima kedatangan dua orang putranya dari Palembang : Raden
Patah dan Raden Husen. Raden Husen diangkat menjadi Adipati Terung,
sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan diharapkan kelak
akan menjadi raja.
Pupuh keduapuluh dua
Sinom, 9 bait
Raden Patah merasa sakit hati karena ia tidak diangkat menjadi adipati.
Ia pun pergi ke Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru
kepadanya.
Dalam pada itu, sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang Majapahit,
tetapi selalu gagal dan banyak korban berjatuhan dihajar oleh Adipati
Terung. Karena itu, Syekh Ampel mencari orang yang berani melawa Adipati
Terung. Barangsiapa dapat mengalahkan Majapahit, ia akan diangkat
menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam untuk
menyerang Majapahit. Ia lalu diangkat menjadi Adipati Bintaro, sekaligus
menjadi senopati.
Pupuh keduapuluh tiga
Kinanti, 14 bait
Cerita kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares kembali ke
hutan Japura untuk menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya seperti
mati dan beratnya seringan kapas. Sebenarnya , ia sedang’Mikraj’ menemui
roh Nabi ( Muhammad). Ia telah mendapat kesempurnaan dan bergelar Sunan
Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares menganjurkan agar Sunan
Kali mencari Sunan Jati.
Syarif Hidayat yang sudah mengetahui kedatangan Sunan Kali menyongsong
kedatangan tamunya dengan menyamar sebagai seorang haji. Lalu, dengan
berpura-pura hendak menyampaikan sesuatu kepada Syarif Hidayat, ia
menemui Sunan Kali yang di suruhnya menunggu di pintu gerbang istana.
Setelah meninggalkan tamunya di pintu gerbang, Syarif Hidayat langsung
berangkat ke Pajajaran.
Pupuh keduapuluh empat
Sinom, 14 bait
Pupuh ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan
Jati. Dicertakan bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati karena semua
putranya meninggalkan istana, bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun
tidak kembali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi
mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Jati.
Dalam hatinya, ia merasa malu kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika, negara dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam.
Dalam hatinya, ia merasa malu kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika, negara dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam.
Syarif Hidayat yang datang kemudian menyebut orang-orang Pajajaran yang
bersembunyi di hutan seperti harimau. Seketika itu juga, orang-orang
Pajajaran berubah menjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di
cabut, mereka belum akan menjadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke
Lebaksungsang menemui Cakrabuana yang sedang bertapa sambil bersawah.
Cakrabuana diminta pulang ke Cirebon menghadiri pertemuan para wali.
Lalu, ia pergi ke Mengajang menemui Syekh Bentong yang sebenarnya adalah
putra Raja Majapahit bernama Banjaransari yang lebih di kenal dengan
nama Jaka Tarub.
Pupuh keduapuluh lima
Kinanti, 28 bait
Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan
seorang bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra
Majapahit, Raden Bondan, yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub
alias Ki Bentong ingin sekali menjadi wali. Ia bertapa memati raga. Pada
suatu saat, ketika tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat datang
menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan karena
asyiknya berbuka.
Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, lalu membaca syahadat, seketika terciptalah seekor bebek yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga habis. Saking marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong. Syarif Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak mampu melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat dapat menghidupkan kembali bebeknya.
Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya dianjurkan supaya pergi ke Cirebon.
Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, lalu membaca syahadat, seketika terciptalah seekor bebek yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga habis. Saking marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong. Syarif Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak mampu melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat dapat menghidupkan kembali bebeknya.
Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya dianjurkan supaya pergi ke Cirebon.
Cerita kembali kepada Durakhman yang tengah menunggu panggilan Sunan
Jati. Sudah sembilan bulan ia menanti di pintu gerbang tanpa tidur
sekejappun. Jika merasa lelah duduk, ia berdiri membungkukkan badan.
Jika merasa lelah berdiri, ia pun duduk bersandar di gerbang. Itulah
sebabnya di depan istana Cirebon terdapat sebuah tempat yang dinamakan
Lemahwungkuk.
Syarif Hidayat yang kemudian datang menemuinya menyatakan tidak mau
mengajar di sembarang tempat karena pelajaran akan diberikan di tepi
sebuah sungai, dan Durakhman harus membawa 100 buah kemiri untuk
menghitung ilmu.
Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya ia menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di sungai, Durakhman memanjat pohon itu. Belum sampai setengah batang, kemirinya berjatuhan ke sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah meraba-raba buah kemiri, tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga ke laut dan tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening.
Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya ia menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di sungai, Durakhman memanjat pohon itu. Belum sampai setengah batang, kemirinya berjatuhan ke sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah meraba-raba buah kemiri, tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga ke laut dan tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening.
Pupuh keduapuluh enam
Balakbak, 22 bait
Di Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Khidir) yang
menasehatinya agar bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal
sebuah pisau. Ketika Durakhman tengah bertapa, tangannya mencoret-coret
tanah membuat gambar-gambar yang tersusun menjadi sebuah cerita wayang.
Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi wayang-wayang yang dapat melakonkan segala macam cerita. Setelah wayang-wayang tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa.
Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi wayang-wayang yang dapat melakonkan segala macam cerita. Setelah wayang-wayang tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa.
Ternyata, pertapa itu adalah seorang raja zaman Budha bernama Konteya
Darmakusuma atau Judhistira. Waktu itu, ia belum bernama Samiaji. Dialah
yang dulu memiliki azimat Kalimasada. Judhistira menceritakan seluruh
cerita wayang kepada Durakhman. Terakhir, ia menyerahkan Surat
Kalimasada yang selama dipegangnya belum pernah ia baca karena tidak
dapat membaca apa yang tertulis didalamnya.
Durakhman kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya Darmakusuma. Sejak saat itu, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji Surat Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk agama islam. Lalu, Durakhman meminta agar Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji belum bersedia, tetapi ia berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati memancarkan sembilan cahaya.
Durakhman kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya Darmakusuma. Sejak saat itu, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji Surat Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk agama islam. Lalu, Durakhman meminta agar Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji belum bersedia, tetapi ia berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati memancarkan sembilan cahaya.
Pupuh keduapuluh tujuh
Durma, 33 bait
Cerita kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus
Adipati Terung untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit karena
Brawijaya berniat menyerahkan tahta kepadanya. Adipati Terung berusaha
mencari Raden Patah sampai ke bonang, tetapi Raden Patah tidak mau pergi
ke Majapahit sebelum rajanya masuk islam. Adipati Terung terus memaksa,
sementara Raden Patah tetap bertahan.
Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan Japan yang diharapkan membantu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya berpihak kepada para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak mampu melawan pasukan Majapahit.
Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan Japan yang diharapkan membantu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya berpihak kepada para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak mampu melawan pasukan Majapahit.
Pupuh keduapuluh delapan
Pangkur, 11 bait
Adipati Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan
perang. Tak seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati
Terung. Demikian pula Raden Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung
Kumbang.
Pupuh keduapuluh sembilan
Dangdanggula, 17 bait
Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan
lamanya. Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan
Adipati Terung ia harus berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon
sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat menuju ke sana.
Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah bernama si Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu.
Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah bernama si Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu.
Pupuh ketigapuluh
Sinom, 22 bait
Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar
Majapahit tetap tidak mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba
membaca aji sikir yang berakibat raja serta para pembesar Majapahit
menghilang ke dunia siluman, dan berkumpul di Tunjungbang.
Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang
mereka sepakat untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden
Patah diresmikan menjadi raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan
kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi Mas Ratu Pulunggana.
Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak untuk
merayakan penobatan dan pernikahan Raden Patah.
Sementara itu, durakhman yang telah menyelesaikan tapanya di Gunung
Dieng langsung pergi ke Cirebon. Segala sesuatu yang diperolehnya di
Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata baru saja para wali
meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, baru saja ia beranjak pergi,
terdengar suara mempersilahkan duduk yang keluar dari meja dan kursi,
tanpa seorangpun. Tak lama kemudian, keluar teko serta cangkir
mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman menyaksikan semua itu.
Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam.
Pupuh ketigapuluh satu
Asmaranda, 19 bait
Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan
Gunung Jati baru kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta
kota Mekah untuk dijadikan contoh pembuatan masjid agung. Bersamaan
dengan itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon.
Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali.
Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali.
Menurut kitab tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon;
Syekh Giri Gajah bergelar Sultan Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar
Kanjeng Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong
bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus;
Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton;
Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar
Sunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhunan Kalijaga
bergelar Suhunan Adi.
Pada kesempatan itu, para wali membuat singgasana kerajaan dan
masing-masing mengeluarkan ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran
sembilan macam cahaya yang memancar sampai ke gunung Dieng—mengingatkan
pada janji Samiaji yang akan segera datang ke Cirebon bila ada sembilan
cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bersedia menerima sembah para
wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.
Pupuh ketigapuluh dua
Sinom, 18 bait
Seorang murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun
belajar agama islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya
hanya disuruh menghafal kalimat syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri
karena kecewa terhadap pelajaran yang diterimanya. Ia pun kembali ke
kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki Gedeng
Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati.
Ki Gedeng Palumbon berusaha mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, puasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah. Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal.
Ki Gedeng Palumbon berusaha mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, puasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah. Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal.
Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng
Palumbon juga melayat. Mayat yang membesar itu, menurut Ki Gedeng
Palumbon, disebabkan oleh ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan
dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati yang berasal dari Gebang
bernama Kamil. Kedatangannya berniat memandikan mayat. Mula-mula, mayat
Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan mengeluarkan bau busuk.
Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau harum. Melihat keadaan itu,
Ki Gedeng Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan
ingin berguru lagi kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh
bertapa di Gunung Cigugur.
Pupuh ketigapuluh tiga.
Kinanti, 38 bait
Pupuh ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Panguragan.
Nyi Panguragan atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang
siapa yang mampu mengalahkan dirinya, jika ia laki-laki, dialah yang
akan menjadi suaminya. Melalui sayembara itu, banyak orang yang ingin
tampil untuk mencoba kesaktiannya guna mengalahkan Gandasari. Tetapi,
tak seorangpun yang dapat mengalahkannya hingga datanglah seorang satria
dari negeri Syam bernama Pangeran Magelung.
Dinamai Pangeran Magelung karena rambutnya digelung karena sejak kecil
hingga dewasa tidak ada pisau cukur yang mempan untuk memotong
rambutnya. Ia pergi ke Cirebon untuk menemui sunan Jati. Setibanya di
Karanggetas, ia bertemu dengan seorang kakek-kakek yang mampu memotong
rambutnya hanya dengan jari tangan.
Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di tempat sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap, gandasari berlindung pada Sunan Jati.
Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di tempat sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap, gandasari berlindung pada Sunan Jati.
Pupuh ketigapuluh empat
Dangdanggula, 14 bait
Akhirnya, Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas Gandasari.
Namun, mereka berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia,
kecuali kelak di akhir zaman. Menurut kitab Babul, kediaman Ratu Emas
Gandasari tidak hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di Pulau Kuntul
(Bangau). Sekarang, pulau bangau itu bernama pulau Kencana atau pulau
Karas atau di bangsal Karangsuwung. Jika ke barat, ia tinggal di
Ujungsori.
Dalam pada itu, para wali—Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan
Sunan Kudus—sering berkumpul untuk membicarakan syareat Rasul, usul
fikh, serta kitab Fakulwahab.
Pupuh ketigapuluh lima
Menggalang, 17 bait
Pupuh ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang berniat menyerang
Keraton Cirebon. Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para
ponggawanya, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel,
Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna membicarakan negara Cirebon di bawah
pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut mengambil keputusan, yakni
meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka diri,
antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Dalem Kiban, Dalem
Ciamis, Dalem Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limunding. Setelah persiapan
selesai, pasukan Galuh segera berangkat menuju Cirebon.
Pupuh ketigapuluh enam
Sinom, 8 bait
Dalam perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkemahan di
perjalanan. Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng
Kemuning sangat rindu pada Sunan Jati dan bersiap-siap hendak menghadap
ke Cirebon diiringi oleh Patih Waruangga dan Anggasura, serta para
mantri.
Pupu ketigapuluh tujuh
Dangdanggula, 15 bait
Barisan pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan
pasukan Galuh. Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke
Cirebon—saat para wali masih berkumpul untuk membangun masjid dan
mendiskusikan agama Islam.
Pupuh ketigapuluh delapan
Asmaranda, 13 bait
Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan
putrinya Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera
dilangsungkan di Demak. Ketika para wali bersiap-siap hendak berangkat
ke Demak, datanglah Arya Kuningan yang mengabarkan adanya pasukan Galuh
yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap berangkat ke Demak,
sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang segera
mengatur barisannya di Gunug Gundul.
Pupuh ketigapuluh sembilan
Durma, 24 bait
Utusan Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyelidiki kekuatan
pasukan Galuh. Ia pergi bersama Ki Anggawaru. Tak lama kemudian, Ki
Anggarunting bertemu dengan Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak
Galuh. Dalam pertempuran pertama, pasukan Kuningan terdesak. Arya
Kemuning maju membantu yang membuat barisan Palimanan berantakan.
Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda tunggang Arya Kemuning
yang bernama Wisnu.
Pupuh keempat puluh
Asmarandana, 10 bait
Pasukan Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yang mengendarai
seekor gajah terus melakukan serangan. Serangan Dipati Kiban ini
dihadapi oleh Dalem Kuningan.
Pupuh kempatpuluh satu
Pangkur, 27 bait
Perang tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisnu melawan
dipati Kiban yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan lama
sekali. Meskipun sudah berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda
siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya mereka berlaga, dorong
mendorong hingga ke ujungtuwa di tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-duanya
tercebur ke laut dan lenyap dari pandangan mata. Melihat senapatinya
lenyap, kedua belah pihak mengundurkan diri dan melapor kepada rajanya
masing-masing.
Pupuh keempatpuluh dua
Sinom, 18 bait
Kuwu Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk
membantu pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak
menyetujuinya. Ki Kuwu Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun
berangkat ke medan perang. Ki Kuwu Sangkan seperti orang linglung. Ia
pun tersesat ke gunung Panawarjati, dan akhirnya tafakur disana.
Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah Anggasura yang melaporkan
keadaan peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya Arya Kemuning
bersama Dalem Kiban. Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap bertempur
di lautan.
Kemudian pihak Cirebon menyusun bala bantuan dan segera diberangkatkan
ke medan perang d bawah pimpinan Patih Keling. Dalam pertempuran
lanjutan, pasukan Cirebon beserta para Manggalayuda terdesak hebat oleh
pasukan Galuh. Kesaktian para pemimpin pasukan Galuh tak terlawan oleh
para panglima pasukan Carbon.
Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur. Mereka hanya disuruh bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang sedang melakukan perang tanding. Tetapi, karena pimpinannya terdesak, mereka pun lari mengundurkan diri.
Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur. Mereka hanya disuruh bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang sedang melakukan perang tanding. Tetapi, karena pimpinannya terdesak, mereka pun lari mengundurkan diri.
Pupuh keempatpuluh tiga
Pangkur, 10 bait
Pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan masih tetap
bertafakur di gunung Panawarjati. Ia menyesal karena telah mendahului
kehendak kemenakannya, Sunan Jati. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang
berasal dari sebatang pohon randu yang isinya menyatakan bahwa ia telah
dimaafkan oleh kemenakannya dan diminta segera membantu pasukan Cirebon
yang sedang terdesak.
Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan langsung menuju medan pertempuran.
Ia mendengar suara di angkasa yang menantang Sunan Jati. Itulah suara Sanghyang Gempol, salah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng, kopiah, umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu membuntuti. [cirebonme/*]
Ia mendengar suara di angkasa yang menantang Sunan Jati. Itulah suara Sanghyang Gempol, salah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng, kopiah, umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu membuntuti. [cirebonme/*]