Emansipasi wanita menurut perspektif Islam
Polwan Aceh |
Aceh, Jatiluhuronline - Peringatan ke-60 tahun Konfrensi Asia Afrika yang berakhir pada Jumat
(24/4) tidak hanya dimanfaatkan untuk mempererat kerja sama ekonomi dan
politik selatan-selatan, tetapi juga beberapa isu lain yang mendesak,
seperti radikalisme.
Sejumlah organisasi juga memanfaatkan momen itu untuk memperjuangkan kepentingannya, sebutlah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama dengan organisasi perempuan di negara-negara Asia Afrika lain yang memanfaatkan peringatan KAA untuk memperkuat kerja sama antarorganisasi perempuan dan menyuarakan perlawanan atas praktik Islam konservatif yang dinilai merintangi hak-hak perempuan.
"Sekarang ini kami sedang menjalin komunikasi dengan teman-teman yang ada di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara, membicarakan bagaimana tren Islam konservatif justru merintangi hak-hak perempuan, misalnya perkawinan anak-anak semakin dilegalkan yang membuat jumlah anak perempuan putus sekolah jadi bertambah," ujar Sekjen KPI Dian Kartikasari.
Pihaknya, bersama dengan organisasi perempuan seluruh dunia, juga aktif menjalin diskusi dengan tokoh-tokoh Islam untuk mengetahui dimana sebenarnya larangan atau faktor dalam hukum agamanya yang mensyaratkan bahwa perempuan tidak bisa memperoleh hak yang sama dengan kaum pria.
Selain itu, kata dia, dalam forum internasional seperti peringatan KAA, para aktivis perempuan ini bisa menguatkan upaya "people to people engagement" untuk mendorong pemerintah negara tertentu memberlakukan kebijakan yang lebih memihak kaum perempuan.
"Seperti mendorong agar perempuan di Arab Saudi boleh berorganisasi karena selama ini tidak pernah ada organisasi perempuan di negara tersebut, berbeda dengan negara-negara lain seperti Palestina, Pakistan, Afrika Selatan, Afghanistan, dan India yang sudah bisa menyuarakan kepentingan perempuan melalui organisasi-organisasi mereka," tutur dia.
Menurut Dian, dalam gerakan perempuan ada gejala atau kecenderungan bahwa negara dan kekuatan-kekuatan konservatif justru membuat mundur situasi perempuan baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
"Misalnya hak politik. Kita di Indonesia beruntung karena perempuan boleh ikut dalam pemilu. Tidak semua negara di Afrika mengizinkan kaum perempuannya memilih (dalam pemilu), dan itu yang sampai sekarang masih kami perjuangkan," tutur dia.
Tidak hanya boleh ikut dalam pemilu, jika dibandingkan dengan negara lain di Timur Tengah, perempuan Indonesia juga dapat berpartisipasi menjadi calon yang dipilih dalam pemilu.
Aisyiyah, organisasi otonom bagi wanita organisasi Islam yang besar di Indonesia, Muhammadiyah, menilai kesempatan untuk perempuan di Indonesia sangat terbuka, tinggal perempuan terus memberdayakan diri dan mengangkat harkat martabatnya di berbagai bidang.
"Perempuan di mata Aisyiyah sekarang ini sangat maju jauh," kata Wakil Ketua Umum Aisyiyah, Masyitoh.
Ia mengatakan bahwa perempuan saat ini bahkan sudah dapat bersaing dengan laki-laki di berbagai bidang, termasuk politik dengan terwakilinya perempuan di parlemen lewat kuota 20 persen perempuan.
"Kuota 20 persen perempuan di parlemen terpenuhi, kualitas juga kita bisa bersaing," kata Masyitoh yang juga Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Pandangan Islam
Berbeda dengan beberapa negara di Timur Tengah, Islam di Indonesia merupakan Islam moderat yang ramah, toleran, bertujuan menerapkan misi rahmatan lil alamin dan menggarisbawahi pentingnya keseimbangan.
Organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama menilai Islam menetapkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan proporsi dan tanggung jawab yang harus dipikul.
"Emansipasi perempuan kalau menurut Islam menempatkan martabat perempuan dengan tepat. Islam menetapkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan proporsi yang mesti diemban berdasarkan alamiah dan inisiasi kemanusiaan," kata Ketua Pengurus Besar NU Slamet Effendy Yusuf.
Slamet Effendy Yusuf menuturkan Islam tidak membedakan manusia dari segi gender dan menetapkan tanggung jawab yang sejajar sesuai dengan fungsinya.
"Wanita kan memang memiliki tanggung jawab memelihara keluarga dan menjaga anak ini tugas yang penting karena mempersiapkan masa depan yang unggul. Jangan dikira sepele," ujar dia.
Menurut dia, tanggung jawab domestik bagi perempuan bukan berarti membatasi peran perempuan di ranah nondomestik. Islam, ujar dia, tidak menghalangi perempuan menduduki posisi penting hingga menjadi pemimpin.
Yang harus ditekankan, kata dia, perempuan tidak boleh mengorbankan generasi penerus menjadi tidak berkualitas demi ambisi pribadi. Ia menyarakan para perempuan menjalankan tanggung jawabnya hingga selesai merawat anak hingga setidaknya berusia tujuh tahun baru mulai menapaki karir.
"Di Aceh sudah ada sultana, masa khalifah pun ada yang perempuan, Islam tidak pernah membatasi," kata dia.
Sedangkan adanya pengekangan pada perempuan di beberapa negara Islam di Timur Tengah, menurut dia, hal tersebut bukan Islam yang mengekang, melainkan budaya setempat dan rezim penguasa.
Ia mencontohkan cadar yang dipakai perempuan Timur Tengah bukanlah perintah ajaran agama Islam, melainkan budaya setempat karena gurun berpasir.
Sementara untuk Indonesia, tutur dia, terdapat salah satunya budaya "kanca wingking" yang menempatkan perempuan di bawah lelaki, dan sekali lagi, hal itu bukan ajaran Islam yang melihat adam dan hawa sejajar, tidak ada yang di depan atau di belakang, tetapi berdampingan.
"Masih sering ada kesalahpahaman kalau yang membelenggu perempuan di negara Islam adalah Islam, padahal sebenarnya adalah budaya masing-masing dan rezim pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan," tutur dia.
Selain budaya masing-masing kawasan, ia menilai adanya kesalahpahaman penafsiran Al-Quran dan sunah Rasul juga menjadi penyebab adanya pandangan Islam mengekang perempuan.
Sejumlah ayat dan sunah yang bertujuan melindungi dan memuliakan perempuan, menurut dia, ditafsirkan dengan keliru dan justru membelenggu perempuan.
Untuk Indonesia sendiri, ia menilai perempuan diberi kesempatan luas, dan kini bagaimana perempuan memerankan tugas domestik dan nondomestik dengan seimbang.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak perempuan dapat mandiri di tengah tantangan yang masih dihadapi.
"Perempuan-perempuan kita menghadapi tantangannya sendiri. Yang perlu dijaga adalah semangat memperjuangkan hak-hak perempuan," kata dia.
Menurut Lukman, kiprah perempuan kini sudah semakin baik jika dibandingkan di masa lalu. Banyak perempuan kini memimpin sebuah organisasi dan memimpin staf yang merupakan laki-laki, hal itu menunjukkan terbukanya kesempatan untuk perempuan.
Senada dengan Ketua PBNU, Menag meminta perempuan tetap harus memahami kodratnya sebagai seorang ibu dalam sebuah keluarga. Ia mencontohkan fisik perempuan yang memungkinkan untuk menyusui seorang anak, berbeda dengan kodrat lelaki.
"Yang penting kodrat perempuan jangan sampai tercerabut," kata dia.
Sejumlah organisasi juga memanfaatkan momen itu untuk memperjuangkan kepentingannya, sebutlah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama dengan organisasi perempuan di negara-negara Asia Afrika lain yang memanfaatkan peringatan KAA untuk memperkuat kerja sama antarorganisasi perempuan dan menyuarakan perlawanan atas praktik Islam konservatif yang dinilai merintangi hak-hak perempuan.
"Sekarang ini kami sedang menjalin komunikasi dengan teman-teman yang ada di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara, membicarakan bagaimana tren Islam konservatif justru merintangi hak-hak perempuan, misalnya perkawinan anak-anak semakin dilegalkan yang membuat jumlah anak perempuan putus sekolah jadi bertambah," ujar Sekjen KPI Dian Kartikasari.
Pihaknya, bersama dengan organisasi perempuan seluruh dunia, juga aktif menjalin diskusi dengan tokoh-tokoh Islam untuk mengetahui dimana sebenarnya larangan atau faktor dalam hukum agamanya yang mensyaratkan bahwa perempuan tidak bisa memperoleh hak yang sama dengan kaum pria.
Selain itu, kata dia, dalam forum internasional seperti peringatan KAA, para aktivis perempuan ini bisa menguatkan upaya "people to people engagement" untuk mendorong pemerintah negara tertentu memberlakukan kebijakan yang lebih memihak kaum perempuan.
"Seperti mendorong agar perempuan di Arab Saudi boleh berorganisasi karena selama ini tidak pernah ada organisasi perempuan di negara tersebut, berbeda dengan negara-negara lain seperti Palestina, Pakistan, Afrika Selatan, Afghanistan, dan India yang sudah bisa menyuarakan kepentingan perempuan melalui organisasi-organisasi mereka," tutur dia.
Menurut Dian, dalam gerakan perempuan ada gejala atau kecenderungan bahwa negara dan kekuatan-kekuatan konservatif justru membuat mundur situasi perempuan baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
"Misalnya hak politik. Kita di Indonesia beruntung karena perempuan boleh ikut dalam pemilu. Tidak semua negara di Afrika mengizinkan kaum perempuannya memilih (dalam pemilu), dan itu yang sampai sekarang masih kami perjuangkan," tutur dia.
Tidak hanya boleh ikut dalam pemilu, jika dibandingkan dengan negara lain di Timur Tengah, perempuan Indonesia juga dapat berpartisipasi menjadi calon yang dipilih dalam pemilu.
Aisyiyah, organisasi otonom bagi wanita organisasi Islam yang besar di Indonesia, Muhammadiyah, menilai kesempatan untuk perempuan di Indonesia sangat terbuka, tinggal perempuan terus memberdayakan diri dan mengangkat harkat martabatnya di berbagai bidang.
"Perempuan di mata Aisyiyah sekarang ini sangat maju jauh," kata Wakil Ketua Umum Aisyiyah, Masyitoh.
Ia mengatakan bahwa perempuan saat ini bahkan sudah dapat bersaing dengan laki-laki di berbagai bidang, termasuk politik dengan terwakilinya perempuan di parlemen lewat kuota 20 persen perempuan.
"Kuota 20 persen perempuan di parlemen terpenuhi, kualitas juga kita bisa bersaing," kata Masyitoh yang juga Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Pandangan Islam
Berbeda dengan beberapa negara di Timur Tengah, Islam di Indonesia merupakan Islam moderat yang ramah, toleran, bertujuan menerapkan misi rahmatan lil alamin dan menggarisbawahi pentingnya keseimbangan.
Organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama menilai Islam menetapkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan proporsi dan tanggung jawab yang harus dipikul.
"Emansipasi perempuan kalau menurut Islam menempatkan martabat perempuan dengan tepat. Islam menetapkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan proporsi yang mesti diemban berdasarkan alamiah dan inisiasi kemanusiaan," kata Ketua Pengurus Besar NU Slamet Effendy Yusuf.
Slamet Effendy Yusuf menuturkan Islam tidak membedakan manusia dari segi gender dan menetapkan tanggung jawab yang sejajar sesuai dengan fungsinya.
"Wanita kan memang memiliki tanggung jawab memelihara keluarga dan menjaga anak ini tugas yang penting karena mempersiapkan masa depan yang unggul. Jangan dikira sepele," ujar dia.
Menurut dia, tanggung jawab domestik bagi perempuan bukan berarti membatasi peran perempuan di ranah nondomestik. Islam, ujar dia, tidak menghalangi perempuan menduduki posisi penting hingga menjadi pemimpin.
Yang harus ditekankan, kata dia, perempuan tidak boleh mengorbankan generasi penerus menjadi tidak berkualitas demi ambisi pribadi. Ia menyarakan para perempuan menjalankan tanggung jawabnya hingga selesai merawat anak hingga setidaknya berusia tujuh tahun baru mulai menapaki karir.
"Di Aceh sudah ada sultana, masa khalifah pun ada yang perempuan, Islam tidak pernah membatasi," kata dia.
Sedangkan adanya pengekangan pada perempuan di beberapa negara Islam di Timur Tengah, menurut dia, hal tersebut bukan Islam yang mengekang, melainkan budaya setempat dan rezim penguasa.
Ia mencontohkan cadar yang dipakai perempuan Timur Tengah bukanlah perintah ajaran agama Islam, melainkan budaya setempat karena gurun berpasir.
Sementara untuk Indonesia, tutur dia, terdapat salah satunya budaya "kanca wingking" yang menempatkan perempuan di bawah lelaki, dan sekali lagi, hal itu bukan ajaran Islam yang melihat adam dan hawa sejajar, tidak ada yang di depan atau di belakang, tetapi berdampingan.
"Masih sering ada kesalahpahaman kalau yang membelenggu perempuan di negara Islam adalah Islam, padahal sebenarnya adalah budaya masing-masing dan rezim pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan," tutur dia.
Selain budaya masing-masing kawasan, ia menilai adanya kesalahpahaman penafsiran Al-Quran dan sunah Rasul juga menjadi penyebab adanya pandangan Islam mengekang perempuan.
Sejumlah ayat dan sunah yang bertujuan melindungi dan memuliakan perempuan, menurut dia, ditafsirkan dengan keliru dan justru membelenggu perempuan.
Untuk Indonesia sendiri, ia menilai perempuan diberi kesempatan luas, dan kini bagaimana perempuan memerankan tugas domestik dan nondomestik dengan seimbang.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak perempuan dapat mandiri di tengah tantangan yang masih dihadapi.
"Perempuan-perempuan kita menghadapi tantangannya sendiri. Yang perlu dijaga adalah semangat memperjuangkan hak-hak perempuan," kata dia.
Menurut Lukman, kiprah perempuan kini sudah semakin baik jika dibandingkan di masa lalu. Banyak perempuan kini memimpin sebuah organisasi dan memimpin staf yang merupakan laki-laki, hal itu menunjukkan terbukanya kesempatan untuk perempuan.
Senada dengan Ketua PBNU, Menag meminta perempuan tetap harus memahami kodratnya sebagai seorang ibu dalam sebuah keluarga. Ia mencontohkan fisik perempuan yang memungkinkan untuk menyusui seorang anak, berbeda dengan kodrat lelaki.
"Yang penting kodrat perempuan jangan sampai tercerabut," kata dia.
[antara]-(*)
0 Response to "Emansipasi wanita menurut perspektif Islam"
Posting Komentar