Kearifan Lokal Masyarakat Ciomas dalam Melestarikan Hutan
Maysaakat Ciomas melakukan aktivitas di hutan |
JATILUHUONLINE - BUDAYA, Kehidupan dan gaya hidup modern adakalanya membuat manusia menjadi tidak
lagi peka terhadap lingkungannya. Segalanya melulu tentang bergegas dan
mengejar. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis dan merk kini
semakin menyesaki jalanan sebagai upaya untuk berlomba dengan waktu. Dan
tentu saja konsekwensi logis dari keadaan ini adalah bahwa oksigen
disekitar menjadi tak lagi nyaman untuk dihirup, suhu menjadi lebih
panas dari sebelumnya, dan keadaan kian terasa bising.
Tentu saja, manusia tak harus kembali ke zaman Flinstone jika ingin
menikmati bumi yang nyaman untuk ditinggali. Ini keniscayaan yang harus
dihadapi dan akan terlalu naïf jika kita membayangkan sebuah dunia tanpa
kendaraan bermotor sama sekali. Kita hanya perlu sedikit peduli
terhadap lingkungan sebagai keseimbangan atas apa yang kita lakukan
selama ini. Dan salah satu yang mendasar dari semuanya adalah dengan
pelestarian hutan. Hutan adalah sebuah tempat di mana terdapat
sekumpulan flora dan fauna bermukim. Dari salanah berton-ton oksigen
diproduksi guna dikonsumsi oleh manusia tiap harinya. Tidak hanya itu,
menurut beberapa ahli konon untuk satu hektar hutan dapat menyimpan
sekitar 900 meter kubik air tanah tiap tahunnya, dapat mentransfer air
sekitar 4000 liter per harinya, mampu menurunkan suhu sekitar 5 sampai 8
derajat celcius dan meredam kebisingan antara 30 hingga 80 persen. Dan
yang paling relevan dengan keadaan kita saat ini adalah bahwa pepohonan
tersebut mampu menetralkan polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor
(C02 dan H2O) melalui O2 yang mereka hasilkan.
Kita punya banyak referensi yang bisa di gunakan untuk upaya mencintai
hutan. Tak perlulah kita melongok ke negara lain bagaimana mereka
menjaga hutan-hutannya. Kita hanya perlu sedikit kembali menengok kepada
budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang kita untuk benar-benar
peduli dengan hutan. Hampir di semua daerah di Indonesia memiliki
kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan ini. Jumlah penduduk
Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, menurut data statistik
kependudukan tahun 2010 sekira 78 persennya tinggal di wilayah pedesaan
dan rata-rata berada di sekitar wilayah hutan. Masyarakat yang dekat
dengan kawasan hutan ini tak perlu diragukan lagi, bahwa mereka pada
umumnya memiliki kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan lokal dalam
hal pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya, yang dalam
hal ini dikembangkan secara turun temurun.
Dan karena pengetahuan akan pelestarian hutan dari pola-pola yang
berkembang pada kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan
mereka selama berinteraksi secara simultan dengan lingkungan sekitarnya
(pengamatan dan pengalaman), maka tentu saja pola-pola yang terdapat
dalam kearifan lokal ini pun bisa jadi akan berbeda-beda di tiap daerah
meski dengan tujuan yang sama.
Salah satu kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan yang
membuat penulis terkesan adalah adat yang dimiliki oleh masyarakat di
Desa Ciomas, Ciamis, Jawa Barat. Desa Ciomas yang secara geografis
berada di Kaki gunung Sawal (1764 mdpl) ini memiliki satu adat budaya
yang begitu sistematis dan terprogram yang berkaitan dengan pelestarian
hutan.
Masyarakat di Desa ini memiliki satu kearifan lokal warisan nenek moyang
mereka mengenai pelestarian lingkungan yang sampai saat ini masih
dengan teguh mereka jaga. Salah satunya adalah dengan masih
menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan) di kawasan Gunung Sawal
sebagai tempat yang harus betul-betul dijaga kelestariannya.
Di samping itu, ada pula beberapa tahapan dalam adat masyarakat Ciomas
yang mengedepankan pola-pola sistematis dan bertahap dalam hal
pelestarian hutan di lingkungan mereka. Tahapan adat itu terbagi dalam
tiga tahap yang begitu sistematis dan penuh perhitungan. Inilah
tahap-tahap dalam adat Masyarakat Ciomas dalam hal menjaga lingkungan
hutan agar tetap lestari:
1. Kabarataan
Kabarataan adalah sebuah adat yang mengedepankan pada analisis yang
mendalam terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang terdapat dalam tata
wilayah mereka. Dalam adat Kabarataan ini meliputi menghitung berbagai
kerusakan hutan, menetapkan waktu pemulihan kerusakan tersebut (Tata
Wayah) dan juga rancangan kerja tentang apa-apa saja yang harus
dilakukan untuk memulihkan kerusakan (Tata Lampah). Tidak hanya itu,
dalam adat Kabarataan ini juga diadakan upacara penanaman pohon
panayogian atau penanda yang disebut dengan nama Ki Pasang, mengingat
pohon yang di tanam adalah dua jenis pohon yang sama dan berdampingan.
Dalam prosesi adat menanam pohon panayogian biasanya dilakukan pada
akhir menjelang rangkaian adat Kabarataan berakhir. Yang membuat saya
terkesan adalah, untuk pohon yang di tanam dalam Panayogian ini
masyarakat adat mewajibkan untuk hanya menanam jenis pohon yang tumbuh
di wilayah itu dan sama sekali tidak dibolehkan untuk menanam pohon yang
berasal dari luar daerah tersebut. Hal itu tentu saja dilakukan bukan
dengan tanpa alasan sama sekali.
Tujuan utama dari penanaman pohon yang harus dari wilayah tersebut
dengan perhitungan bahwa adaftasi sebuah tanaman dengan tanah dan
lingkungan baru adakalanya memakan proses yang tidak selamanya berjalan
mulus. Jika pohon yang ditanam merupakan tanaman asli dari wilayah
tersebut maka diharapkan proses adaptasi dan pertumbuhan dari sang pohon
yang baru di tanam bisa lebih mudah dilalui.
2. Kadewaan
Untuk tahapan berikutnya setelah prosesi adat Kabarataan berakhir maka
dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yakni melaksanakan adat Kadewaan.
Kadewaan sendiri pada prinsipnya adalah awal dimulainya proses
pemulihan hutan dan lingkungan termasuk mata air, sungai, dan aneka
tumbuhan di sekitar wilayah tersebut yang pada saat adat Kabarataan
dianggap sudah waktunya dipulihkan dari kerusakan-kerusakan. Maka, jika
dalam adat Kabarataan adalah berupa analisis yang mendalam untuk
mendeteksi kerusakan-kerusakan lingkungan berikut dengan pola-pola apa
saja yang akan diambil dalam upaya penyembuhan lingkungan yang rusak
tersebut, maka dalam adat Kadewaan ini adalah upaya pelaksanaan dari
pemulihan itu sendiri. Dalam Kadewaan ini, masyarakat diwajibkan untuk
menanam pohon di tempat-tempat yang dianggap telah rusak. Dan seperti
pada adat Kabarataan, pohon-pohon yang ditanam di sini pun harus berasal
dari jenis pohon yang ada di wilayah tersebut.
3. Karatuan
Untuk tahapan terakhir dari rangkaian adat ini adalah pelaksanaan adat
karatuan. Adat Karatuan adalah sebuah proses berkesinambungan antara
terus memulihkan lingkungan dan juga menjaga keberlangsungan pemulihan
itu sendiri hingga tercapai sebuah tata lingkungan yang benar-benar
subur, bersahabat dan tentu saja bisa diambil manfaatnya oleh penduduk
setempat. Maka dari itu, dalam adat karatuan ini sifatnya jangka panjang
dan oleh karenanya waktu yang ditetapkan pun adakalanya hingga ratusan
tahun.
Dari tahapan-tahapan adat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa untuk
melestarikan hutan tidak selamanya diperlukan biaya yang besar dan
peralatan-peralatan mutahir. Semua biaya dan alat-alat mutahir itu tentu
juga berguna tapi yang terpenting dari semuanya adalah kesadaran
masyarakatnya itu sendiri. Adakalanya biaya besar dengan alat-alat
mutahir tak berguna sama sekali jika kesadaran masyarakatnya untuk
mencintai lingkungan tidak ada. Peralatan-peralatan mutahir itu bisa
jadi hanya akan jadi rongsokan tiada guna, pun biaya yang besar tak akan
menghasilkan apapun selama manusianya sendiri selaku oknum tak memiliki
kesadaran untuk menjaga lingkungannya, karena menjaga lingkungan adalah
sebuah proses yang simultan dan bukan abra kadabra, dan semuanya
menjadi kembali seperti apa yang kita harapkan.
Itu baru satu model pelestarian hutan melalui metode kearifan lokal yang
ada di bumi Nusantara ini, sementara kearifan lokal yang mengedepankan
pola-pola kecintaan terhadap lingkungan di Indonesia tak bisa kita
pungkiri, teramat banyak. Jika saja kearifan lokal-kearifan lokal
semacam ini tetap senantiasa lestari di Indonesia tentu mencintai
lingkungan sekitar di Indonesia tak perlu lagi harus dikampanyekan.
Lagipula, ketika kearifan lokal-kearifan lokal itu lestari, maka bukan
saja lingkungan Indonesia menjadi lebih hijau, tapi juga bisa dijual
kepada turis-turis asing maupun lokal sebagai wisata budaya. Ini sektor
potensial yang adakalanya luput dari perhatian pemerintah kita. Pun
dengan televisi yang sejatinya bisa dijadikan corong sebagai alat
kampanye dan promosi gratis adakalanya malah membuat program-program
yang menyesatkan tentang masyarakat adat yang masih begitu teguh
memegang tradisinya. Acara-acara seperti Primitive Runaway misalnya,
bukannya menyorot sesuatu yang lebih penting seperti betapa kehidupan
mereka begitu selaras dengan alam, filosofi-filosofi kehidupan yang
adiluhung dan layak digali, dan sebagainya, malah memposisikan kaum adat
ini sebagai kaum yang terbelakang dengan segala pola hidupnya yang
ajaib, dan para artis selaku bintang tamu diposisikan sebagai
manusia-manusia modern yang maha agung dan beradab.
0 Response to "Kearifan Lokal Masyarakat Ciomas dalam Melestarikan Hutan"
Posting Komentar